Cabut Laporan KDRT, Lesti Kejora Dikaitkan dengan Stockholm Syndrome, Apa itu?

Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) akan dilakukan oleh Rizky Billar ke istrinya, Lesti Kejora, berujung damai. Laporan tersebut diketahui dicabut oleh Lesti Kejora dengan alasan demi anggota bersama keutuhan rumah tangga mereka.
Tentu, kasus akan sudah mendapat atensi begitu gede ketimbang publik ini dianggap cukup mengecewakan sebagian pihak. Pasalnya Lesti Kejora seperti sedang bermain-main lewat hukum negara. Oleh karenanya, publik menganggap wanita 23 tahun itu terkena Stockholm syndrome.
Seperti dilansir melalui situs Cleveland Clinic, Stockholm syndrome adalah timbulnya perasaan welas melalui target kekerasan atau pelecehan terhadap pelaksana kekerasan itu sendiri.
Stockholm syndrome umumnya terjadi apabila korban bersama eksekutor telah menghabiskan batas akan lama bersama-sama. Misalnya telah membina rumah level beberapa puluhan tahun, atau telah berteman lama.
Dalam situasi demikian, simpati beserta empati secara tidak sadar hendak timbul dibenak korban. Hal inilah yang menyebabkan korban merasa “terima” serta tidak menunjukkan sifat-sifat protektif terhadap bintang.
Biasanya mereka akan mengidap Stockholm syndrome bakal merasakan kebingungan menyikapi pelaksana. Kebingungan itu biasanya didasari timbang hati, empati, keinginan bagi melindungi pelaksana dan rasa cinta.
Yang mengherankan, Stockholm syndrome juga dapat menyebabkan target berpikiran negatif kepada orang-orang yang “sebetulnya” melindunginya.
Pertama kali muncul, sindrom ini ditemukan kelanjutan kriminolog, Swedia, Nils Bejerot cukup tahun 1973. Istilah Stockholm syndrome digunakan kalau memberi penjelasan reaksi tak terduga para target serangan bank saat itu.
Dua pria bersenjata menahan empat orang pegawai bank sebagai sandera semasa enam hari. Pihak keamanan sedaerah melakukan penyelamatan kepada para pegawai itu. Namun, uniknya empat orang akan disandera malah membela sang penyandera.
Mereka pula menggalang mal untuk membayar denda yang dijatuhkan pengadilan kepada para penyandera. Dikabarkan, keliru satu korban bahkan meninggalkan kekasihnya demi bisa bersama dengan keliru satu penyandarannya.
Dokter dapat menduga seorang terkena Stockholm syndrome setelah dilakukan wawancara terhadap para target kekerasan atau pelecehan. Apabila mereka membela tokoh kekerasan maka dipastikan mereka terkena Stockholm syndrome.
Meski telah dikenal secara luas, Stockholm syndrome masih memerlukan penelitian lebih jauh didalam.